Thursday, December 4, 2008

Yang Lebih Jelek

Apa yang lebih jelek daripada di Indonesia, jawabannya sangat jelas, pelayanan publik. Kalo pelayanan publik dibidang pemerintahan, seperti polisi atau pemda, masih bisa dimaklumi. Tapi yang membuat aku shock, bahkan bank saja pelayanannyapun sangat parah. Aku sendiri sudah pernah menjadi nasabah beberapa bank di Indo, mulai dari BNI, BCA, BSM, BTN, Danamon, sampai BRI ndeso sekalipun, ga ada yang pelayanannya lebih parah daripada bank di Qatar. Mungkin mereka merasa bahwa kita yang membutuhkan mereka sehingga mereka “sak penake dhewe”.

Dan satu lagi, jangan harap nemuin toko/supermarket macam Indomaret/Alfamart disini. Ucapan “Selamat pagi, selamat datang di Indomaret” dan senyum ramah shopkeeper ga bakal ditemuin disini. Kebanyakan mereka cuek. Bahkan saat melayani pembayaran sekalipun, mereka sibuk dengan urusannya sendiri.

Sebelum aku berangkat, ada seorang teman memberitahu bahwa 50% gaji kita di Qatar adalah tunjangan kesabaran dan harga diri. Hmm, bener juga ya!!

Yang Lebih Murah

Apa saja barang-barang di Qatar yang lebih murah dari Indonesia:

  1. Bensin: Itu jelas banget karena disamping Qatar adalah negara penghasil minyak, subsidi dari pemerintah begitu banyak sehingga harga BBM sangat-sangat murah. Harga premium (Octane 92) = 0.6 QR dan Super (Octane 98) = 0.8 QR.
  2. Mobil: Harga mobil (terutama mobil mewah) sangat berbeda jauh dengan Indonesia. Kalo yang di Indonesia sudah bernilai M, disini mungkin cuma setengahnya. Beli mobil disini (katanya) udah seperti beli kacang aja. Tinggal datang ke dealer, 2 hari kemudian mobil udah sampai rumah, tanpa uang muka lagi. Juga karena harga BBM yang murah, sehingga banyak penduduk yang memilih mobil sebagai sarana transportasi daripada bus kota.
  3. Softdrink kaleng: Coca Cola dan sejenisnya disini hanya dijual 1 QR (bahkan lebih murah dibandingkan es teh), sehingga softdrink jadi minuman umum disini. Walaupun murah, saya sendiri masih eneg minum seperti itu. Karena di Indo sendiri saya jarang minum yang bersoda.
  4. Kurma: Ya iyalah,…………..

Wallace, Penyingkap Kekayaan Alam Indonesia

Beberapa hari yang lalu, saya jalan-jalan ke Carrefour di City Centre. Satu hal yang harus saya beli adalah buku bacaan atau majalah. Karena saya sudah bosan mengisi waktu luang hanya dengan membaca buku itu-itu saja. Bahkan Qatar’s welcome book “Marhaba” yang tebalnya sekitar 500 halaman itu hampir saya khatamkan. Setelah lihat-lihat sebentar di counter majalah, akhirnya saya putuskan untuk membeli majalah National Geographic.

Pada awalnya, ga ada yang spesial dari NG magazine yang saya beli ini. Karena masih tersegel, saya hanya membaca judul di halaman muka. Headlinenya tentang ditemukannya makam King Herod, raja dari Old Yerusalem. Tetapi setelah saya buka-buka, di halaman lain ada sebuah kisah menarik tentang Wallace.

Wallace, lengkapnya Alfred Russel Wallace, adalah ilmuwan dari Inggris yang menekuni bidang Biologi yang pernah menjelajahi Nusantara pada tahun 1854-1862. Tujuannya adalah meneliti fauna yang ada di Malay Archipelago (Nusantara) untuk dijadikan referensi pembelajaran tentang teori evolusi yang saat itu dibawa oleh Charles Darwin.

Dari perjalanannya di Nusantara, dia menemukan garis yang membedakan tipe spesies hewan yang ada, memisahkan Nusantara menjadi 2 bagian. Dan sampai saat ini garis itu dikenal dengan nama Wallace line. Garis itu membentang diantara Kalimantan-Bali dengan Sulawesi-Lombok. Wallace menyimpulkan bahwa di garis itu terdapat lautan yang sangat dalam (Laut Sulawesi dan Selat Lombok), sehingga hewan tidak dapat bermigrasi melintasi lautan itu.

Di Nusantara barat (Indo-Malayan region) dia menemukan 177 spesies unggas dan 215 spesies mamalia, sedangkan di sebelah timur (Astro-Malayan region) ditemukan 241 spesies unggas dan 79 spesies mamalia. Beberapa koleksinya diawetkan dan sekarang menghiasi London’s Natural History Museum.

Saya tidak membahas masalah teori evolusi yang dibawanya. Karena keyakinan saya jelas sangat bertentangan dengan itu. Yang saya sadari bahwa Wallace menyingkapkan kekayaan alam di Indonesia yang begitu besar. Allah memberikan rahmat-Nya kepada bangsa kita begitu luas, yang kadang kita tidak menyadarinya. Mari sama-sama kita jaga dan lestarikan kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia.

Tanda Tangan

Seperti apa tandatangan anda? Saya bukan mau meramal, tapi hanya bertanya sejauh mana tandatangan anda merepresentasikan nama (diri) anda. Karena setelah saya pergi “abroad”, saya baru merasakan pentingnya sebuah tandatangan.

Dulu, semasa kuliah saya dan teman2 mempunyai tandatangan singkat (paraf) yang aneh-aneh. Saya sendiri hanya memberi tanda “lasso” pada absensi kuliah. Teman saya bernama Purwanto, mengisi kolom parafnya hanya dengan tanda “412” (four-one-two), sampai-sampai salah seorang dosen menegurnya karena menganggap tandatangannya terlalu aneh. Memang tujuan kami menyederhanakan tandatangan tiada lain supaya gampang nitip teman kalau kita absen.

Tapi setelah saya membuka cakrawala wawasan saya lebih luas, ternyata orang2 di dunia ini memiliki masing-masing tandatangan yang cukup sederhana. Orang Jepang, India dan Arab misalnya, tandatangan mereka adalah nama mereka dalam huruf mereka sendiri. Orang2 yang menggunakan alfabet-pun mempunyai tandatangan yang sama dengan nama mereka, hanya saja dibuat dengan sangat cepat dan dengan huruf latin (script), sehingga nyaris tak terbaca kalau itu adalah namanya.

Lha kalo orang Indonesia, tandatangan sederhana malah dianggap aneh. Kalo ditanya ke anak-anak muda kenapa tandatangannya begitu rumit dan mbulet-mbulet, mereka pasti menjawab biar ga gampang dipalsu atau biar keren. Padahal kalau mereka tahu, betapa akan capeknya kalau harus menandatangani ratusan lembar formulir dengan tandatangan yang rumit saat mereka sudah jadi bos nanti.

Jadi bagi yang belum terlambat, ada baiknya untuk lebih menyederhanakan tandatangan dan menjadikannya sebagai representasi dari nama kita. Tapi kalau yang tandatangannya sudah terlanjur ada dimana-mana seperti saya ini, ya bagaimana lagi.

Monday, November 24, 2008

No Eat Without Rice

Di Qatar, dimana menjadi tempat cari rejeki banyak manusia dari seluruh penjuru bumi, aku temukan menu-menu makanan yang aneh-aneh. Minggu pertama di Qatar, lidah masih belum bisa adaptasi dengan menu makanan, terutama waktu di hotel. Dan di apartemenpun, aku dan roommate-ku selalu masak sendiri, berbekal bumbu instant Finna dan kenekadan.

Di kantin pabrik, aku dihadapkan pada berbagai macam pilihan masakan. Untuk appetizer, biasanya soup kaldu ayam/sapi, soup cream, soup tomat. Dari beberapa macam soup, cuma soup kaldu saja yang bisa diterima oleh lidah. Main coursenya: Plain rice, biriyani rice, yellow rice, kabuli rice (lengkap dengan bau prengusnya), pasta/spaghetti, macaroni, bread, kobus (roti India), dan boiled potato. Dari berbagai macam pilihan karbohidrat itu, tentu nasi tetap pilihan utama. Dan lauknya: ayam baker, ayam “opor” (kayak opor tapi bukan opor), lamb, beef, sate udang, dsb.

Dan dessert (ini bagian yang aku sukai): bubur roti, bubur nasi manis, tart cake, pudding dan ice cream, hmm yummy…

Makanya kalo pagi hari nyari warung nasi di Qatar agak susah. Karena orang-orang biasanya breakfast hanya dengan roti. Warung disini biasanya buka jam 11, persiapan untuk lunch. Kalopun perut udah terlanjur keroncongan dan kadung keluar rumah di pagi hari, satu-satunya alternatif adalah 24hr fast food, seperti McD dan KFC (yang ada menu nasinya). Emang dasar orang Indonesia, kalo belum makan nasi berarti belum makan.

Dan ketika seorang kawan dari Kenya bertanya, “Can’t you survive without rice?”. Pertanyaan itu aku jawab dengan sederhana, “No eat without rice”.

Sumatera lebih istimewa dibanding Jawa?

Di sela-sela pekerjaan, aku dan teman-teman dari lain bangsa asyik ngobrol. Kebetulan mereka dari Nepal dan Srilanka. Dan salah satu dari mereka menanyakan padaku tentang bahasa resmi negaraku. Tentu saja aku jawab Bahasa Indonesia dan aku tambahi bahwa di Indonesia sendiri terdapat ratusan bahasa daerah, yang satu sama lain belum tentu saling mengetahui.

Tanpa terduga, salah seorang dari mereka bertanya lagi, “Bahasa resmi negaramu itu asalnya dari bahasa daerah mana?” Sebuah pertanyaan yang sangat cerdas dan bahkan aku belum pernah memikirkannya sebelumnya.

Bangsa Indonesia, yang mayoritas penduduknya adalah orang Jawa, harus mengakui bahwa bahasa persatuan yang kita gunakan adalah adopsi dari bahasa Melayu. Dan bahasa Melayu sendiri awalnya dipakai di daerah Sumatera. Maka dari itu kalau kita “cakap-cakap” dengan orang Malaysia masih bisa saling memahami.

Dan bahasa daerah mayoritas penduduk (Boso Jowo-red) lama kelamaan ditinggalkan. Sebuah bahasa yang sangat rumit karena penuh dengan klasifikasi strata mulai dari Kromo Inggil sampai Ngoko Lugu, yang Wong Jowo belum tentu mengetahuinya. Hampir bisa dipastikan, lama kelamaan Boso Jowo berubah menjadi Boso Suriname. Dimana kata “mangan” diucapkan dengan sama maknanya kepada Bapak, Adik, teman main, Kanjeng Sinuhun, ayam, kucing, dsb.

Jadi apakah Sumatera itu lebih istimewa dibanding Jawa? Cari sendiri jawabannya.

Bahkan Merekapun Tahu (Cerita Tentang Tanah Suci)

Saat aku lagi asyik utak-atik alat penunjuk arah kiblat, tiba-tiba seorang teman dari Filipina ikut bergabung. Awalnya dia menanyakan tentang alat yang mirip kompas itu, tentu aku ceritakan apa adanya bahwa ini adalah penunjuk arah ke Mekkah.

Lalu dia berkata, “I know Mekkah is the centre of the earth”. Tentu saja aku kaget, karena aku tahu dia beragama Katholik. “How do you know?”

Dan dia bercerita tentang Geografi. Bahwa di Mekkah terdapat pusat magnetisme bumi. Dia juga menjelaskan mengapa muslim meletakkan jidadnya (sujud-red) ke arah Mekkah. Karena di saat kita stress, kepala kita akan dipenuhi oleh ion-ion yang negatif. Maka dari itu untuk menetralisirnya, kepala kita ditempelkan ke tanah searah dengan pusat magnetisme bumi (Mekkah-red).

Cerita dia aku perkuat dengan menerangkan bukti. Aku percaya baca di koran (kalo ga salah Jawa Pos), bahwa di Arab Saudi memang terdapat daerah yang mempunyai daya magnet tinggi. Apabila kita mengendarai mobil searah dengan arah magnet, maka tanpa digaspun mobil bisa jalan sendiri. Dan sebaliknya, ketika mobil kita berjalan melawan arah magnet, maka walau digas kencengpun, mobil tetap berjalan lambat.

Subhanallah, gumamku dalam hati. Seorang non-muslim saja bisa tahu keistimewaan tanah suci kelahiran Nabi Muhammad SAW. Masak yang muslim sendiri ga tahu sih?

Tuesday, October 21, 2008

Bangladesh Hair Style

Hari ini aku dischedulekan untuk fingerprint, jadi ga berangkat kerja ke Ras Laffan. Berangkat dari apartment 6.30, sampai CID jam 7.30. Dibawa Qatari masuk ruang VIP, 5 menit selesai. Jam 8 pagi sudah sampai apartment lagi.

Terus mau ngapain ya? Bete juga di kamar terus. Mau nonton TV, bahasa inggris transletenya arabic, sama-sama ga ngerti. Akhirnya aku ngajak Johan pusing-pusing di sekitar apartment.

Rasa penasaranku membawaku ke sebuah barbershop. Ya, rambut udah terasa agak semrawut. Mumpung lagi sepi aku masu
k aja dan langsung dipersilahkan duduk di kursi potong rambut oleh tukang cukurnya.

Aku coba ajak dia ngobrol, aku kasih salam dan tanya kabar. Dia cuma tersenyum. Aku tanya dari mana asalnya dan udah berapa lama di Qatar, dia tersenyum lagi. Dia tidak bisa karena sesekali dia menggumam pakai bahasanya sendiri. Sesekali dia menyebut Bangladesh. Kayaknya dia orang Bangladesh dan ga bisa bahasa inggris.

So, aku serahkan sepenuhnya kepalaku ini padanya. Dan cara potongnya cepet banget. Wuzz.. wuzz.. tapi lumayan bagus juga lho. Nie die,....
Yang beda itu, pijetannya itu lho. Madura mah lewat. Bukan cuma kepala, tapi juga pundak, tangan, dan punggung. Lumayan lah,.. untuk menghilangan penat dan lelah.

Nah yang bikin kaget, ternyata aku harus bayar 20 QR. Di Indonesia uang 50 ribu udah bisa dapet cukur plus creambath. But seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, ga perlu repot-repot mengkonversi ke rupiah. Ntar malah pusing sendiri. Cukuplah 20 QR untuk mendapatkan Bangladesh Hair Style, he..he..

Saturday, October 18, 2008

Saudare Serumpun Same-Same Dirase

Ketika aku ngurus2 document, ternyata aku sama-sama dengan orang Malaysia yang baru masuk juga. Lumayan yah, jadi ga “lolak-lolok“ sendirian, ada teman ngobrol. Lama-lama kita jadi akrab juga. Meskipun hubungan kedua negara kadang fluktuatif, tapi kalo sudah dirantau orang, serasa saudara saja.

His name is Johanizam bin Jaaffar, dari Terengganu state. Jadi dia juga orang ndeso kayak aku. Sebelumnya kerja di Petronas VCM plant. Married dan punya dua anak. Umurnya udah 30 tahun.

Aku tanyakan ke dia kenapa keluar dari Petronas. Usut punya usut, ternyata di Petronas gajinya kecil, dia sudah kerja sekitar 8 tahun, tapi gajinya masih segitu-segitu juga. Aku ceritakan ke dia kalo di Pertamina (yang sama-sama negara punya) jarang-jarang ada orang keluar kerja. Sepertinya kalo masalah welfare, Pertamina sepertinya masih lebih bagus dibandingkan Petronas (he..he.. setidaknya masih ada yang bisa dibanggakan juga).

Sesama saudara muslim (serumpun lagi) harus saling membantu bukan? Kalo kata Upin & Ipin pasti “ betul..betu..betu..betu..”;-))

Budaya Arab, belum tentu Budaya Islam

Apa yang anda bayangkan kalo anda bertemu dengan seseorang laki-laki dengan gamis panjang putih, dengan kafiyah di kepala, dan berjanggut panjang. Mungkin ada yang menyebutnya pak Haji atau pak Ustadz, asal jangan nyebut teroris aja. Disini hampir semua Qatari tampangnya gitu men!

Tapi kalo kemudian kamu tanyakan bacaan surat ini ayat itu atau bunyi hadits tentang suatu adab, dia belum tentu ngerti. Disini orang (yang tua) lebih disibukkan ngurusin harga minyak dan harga sewa apartment (buat landlord). Dan buat yang mudanya, mereka lebih senang ngurusin mobil atau sepakbola.

Aku baru kena damprat Qatari waktu ngantri di RS waktu mau medical check. Gara2nya cuma karena aku menempati kursi yang salah, terus dia ngomel2 gitu. Dia ternyata pengatur antrian loket pendaftaran, tampangnya galak, eh.. mungkin lebih tepatnya tegas. Kalo ada yang gak mau manut, minggir ! Ga peduli dia orang India, Eropa, Afrika or Melayu. Kalo Qatari, monggo duluan.

Nah, kalo kita berbicara tentang TV kabel, lebih parah lagi. Kalo di jalan2, kita ga bakal lebih cewek berpakaian yang “aneh-aneh”, kalo di TV malah diumbar bebas. Belum lagi di video musik sering menampilkan ikhtilat, joged-joged laki dan perempuan kayak ga punya malu. Ini jelas2 bukan budaya Islam. Anehnya di TV lokal Jawa Timur, mereka banyak mengadopt video clip – video clip kayak gini. Bahasa arab sih iya, kalo ada lirik lagu “habibi…habibi…” itu sama juga artinya dengan “Sayangku” or “My Love”.

Ngomong-ngomong tentang bahasa arab, jangan dianggap bahasa arab yang dipakai sini itu sama dengan bahasa Al Quran. Beda banget coy! Bahasa Arab resmi (Al Quran) disebut Fuskha (atau fasih), sedangkan bahasa Arab gaul disebut Ammiyah. Jadi pelajaran bahasa Arab yang diajarkan ustadzku selama di Indonesia, ada yang ga kepakai. Contohnya “ma”, resminya itu artinya “apa”, tapi di bahasa ammiyah artinya malah “nggak (menolak halus)”. Sedangkan kata tanya “apa”, bahasa ammiyahnya adalah “ish”. Nah, bisa jadi salah pengertian kan?

Seandainya bahasa percakapan arab itu bahasa Fuskha, pastilah Indonesia akan punya stok ustadzah banyak. TKW-TKW dari timur tengah yang bahasa arabnya sudah lancar, pulang-pulang bisa jadi guru ngaji. Sayangnya ya itu, karena bahasa sehari-harinya berbeda dengan bahasa Al Quran, makanya kalo ga belajar serius bahasa arab (Nahwu Shorof) ya ga bakal ngerti-ngerti. Habis ibaratnya praktek sehari-harinya pakai bahasa "lo gua lo gua" sih.

Jadi sekali lagi, budaya arab belum tentu (budaya) Islam. Muslim yang sebenarnya dia harusnya lebih empati pada orang lain dan rendah hati pada sesama. Bukannya sok arogan di atas mobil mewahnya atau berlebih-lebihan menumpuk harta. Ingat harta juga hanya titipan Allah, suatu saat Dia akan mengambilnya kembali.

Begitu Dekat Begitu Nyata

October 12, 2008.

Seperti hari sebelumnya, kembali aku berjamaah sholat maghrib dan Isya di masjid depan hotel. Aku ga tau nama masjidnya, habis ga ada papan namanya sih. Kali ini, aku niatkan untuk berkenalan dengan imamnya.

Jadi sehabis sholat Isya, aku masih harus menunggu imamnya wiridan dan sholat sunnah rowatib ba’diyah. Setelah beliau salam, aku memberanikan diri mendatanginya dan menyalaminya (salam means berjabat tangan dan say “Assalamu’alaikum Ya Imam”). Beliau menjawab salamku dan menanyakan kabarku (“kaifa haluk?”) dengan ramah. Sebelum melanjutkan pembicaraan, aku tanya, “Do you speak English?”. Ternyata beliau bisa bahasa Inggris walau agak kurang jelas, jadi aku hanya bisa memahami kata-katanya sedikit. Nama beliau Syech Hafidz Al …. (lupa). Terus aku juga menceritakan kedatanganku ke Qatar dan maksudku untuk mempelajari Islam lebih dalam. Terus beliau memberi tahu kalo di masjid lain yang tidak jauh dari sini (sekitaran Doha Beef Hotel) ada muadzin orang Indonesia, jadi mungkin aku bisa kesana untuk berkenalan dengannya.

Aku juga sempat bertanya tentang Syech Yusuf Qaradhawi yang tinggal di Qatar. Beliau mengatakan bahwa biasanya Syech Yusuf Qaradhawi menjadi khotib shalat Jumat di sebuah masjid (beliau menyebutkan namanya masjidnya, tapi aku lupa lagi). Lain kali akan aku tanyakan lagi namanya masjidnya.

October 14, 2008

Selepas (wah, omongannya kebawa Malaysia nich) kepindahanku dari Movenpick Hotel ke Apartment Najwa, aku juga mencoba mencari jamaah masjid disini. Menurut teman sekamarku, ada jamaah sholat Maghrib di deket apartment. Hanya saja tempatnya bukan masjid, tetapi di emperan toko. Bayanganku ini pasti di tempat parkir sebuah supermarket.

Setelah jalan dari apartment beberapa ratus meter, ternyata tempat sholat yang dimaksud adalah sholat di pinggir jalan (trotoar) depan toko onderdil mobil. Ini yang unik, di Indonesia ga ada. Kalopun ada sholatnya pun ga di pinggir jalan, tapi di tengah jalan (sholat ied). Tapi ini benar-benar lain, sholatnya nggelar tikar di trotoar. Udah gitu kita pas datangnya telat lagi, jadinya buat jamaah sendiri. Akhirnya sholatnya enak ga enak (ga bisa khusyuk) karena lihat tikar-tikar yang lain sudah ditatain, tinggal tikar yang kita tempatin aja.

So, kita memutuskan ga kesana lagi. Selain berbagai alasan di atas, juga karena alasan kebersihan yang aku rasa kurang terjamin.

October 15, 2008

Nah, hari ini aku mencoba jamaah di masjid. Lokasinya kira2 500 m dari apartment. Karena lumayan jauh aku berangkat 15 menit lebih awal. Oya, sekarang maghrib disini sekitar jam 5.10 p.m (karena udah mulai mendekati musim dingin). Masjid aku datangi ga begitu besar, multinasional, dan kalo dari luar, maaf, agak kurang terjaga kebersihannya. Mungkin karena banyak jamaahnya yang kurang mengindahkan kebersihan. Sudah diberi rak untuk tempat sandal, masih aja banyak yang naruh sandal sembarangan. Tempat wudlunya jongkok, wah pegel sekali rasanya kaki ini.

Dan yang buat aku excited, imamnya keren euy, pake kacamata hitam segala (kayaknya sih tuna netra). Dan bacaannya itu loh, subhanallah, merdu banget. Emang kalo ibadah lebih dekat ke sumbernya, tampak hampir seperti nyata. So close, so real. Makanya buat temen2 yang berminat, buruan nyusul kesini.

Oya, ada beberapa perbedaan tata cara sholat disini (yang dilakukan mayoritas jamaah) dengan di Indo. Seharusnya ini ga perlu ditulis karena menyangkut khilafiyah. Tapi sekedar just to know aja :

1. Saat mau rukuk dan i’tidal, takbirnya ga mengangkat tangan.

2. Menggerakkan telunjuk saat tahiyat hanya saat membaca syahadat dan hanya sebentar, setelah itu jari jemari menggenggam semua kembali.

3. Saat tahiyat akhir, duduk tetap di kaki. Kalo kita duduknya di pantat sebelah kiri.

4. Sholat sunnah ba’diyahnya lama dan rokaatnya banyak. Kebanyakan 4 rokaat. Saking lamanya sholat sunnah, jamaah yang di shof depan sampai kesulitan kalo mau keluar. Nunggunya lama.

Saturday, October 11, 2008

My First Day in Doha

Perjalanan semalaman Jakarta - Doha emang sangat melelahkan. Aku baru tau yang namanya jetlag itu seperti apa. Sebetulnya sih perbedaan waktunya cuma 4 jam, terus perjalanannya ke barat lagi. Jadi seharusnya waktu tidur di pesawat cukup. Tapi, lha gimana lagi, bagaimanapun juga mumet ini datang juga. Untung ada obat andalan, "Axe Oil" alias minyak kampak.

Setelah tidur dan mandi, aku pergi ke restaurant untuk breakfast. Nglihat makanannya, koq aneh-aneh gini. Pertama cuma ngambil roti bakar. Mana cacing di perut udah "krucuk-krucuk", ga bisa kompromi lagi. Terus aku pesan nasi (plus makanan yang ga aneh-aneh) sama waitre-nya. Eh, ternyata waitre dan chefnya orang Indonesia. Jadi ada temen ngobrol.

Beberapa kali aku ditanyain oleh orang-orang yang ber-face melayu, sebagai waitre, tukang laundry, mechanic. Are u Indonesian/Malaysian/Phillipino? Mengenali orang melayu emang sangat gampang. Di Qatar ini sgala macam orang ada, Qatari/arab (dengan khas gamis putihnya), Caucasian, Malayan, Negro, dan yang paling banyak, Indian/Pakistani.

Ngomong-ngomong soal hotel, hotel yang aku tempati ini bintang-5 lho. Tapi sayang aku belum mengexplore fasilitasnya kemana-mana. Pasalnya aku terlanjur beli voucher internet terusan 24 jam seharga 100 QR. Jadi sayang banget kalo ga dimanfaatin. Paling mondar-mandirnya antara kamar-restaurant aja.

Di depan hotel ada sebuah masjid. Arsitekturnya khas timur tengah. Aku sempatkan untuk sholat Maghrib dan Isya disitu.Bangunannya kelihatannya kecil, cuma kalo udah didalam terasa luas. Karpetnya merah dan tebal, banyak sujud disini kayaknya ga bakal membuat jidad jadi hitam. Dipojok kiri kanan ada tumpukan mushaf. Dan yang paling keren, masjidnya full AC (ya iya lah, kalo model kipas angin kayak di Indonesia malah tambah kepanasan). Dan suara imamnya itu loh, subhanallah, merdu banget. Serasa sholat di Masjidil Haram (bayangin dulu gapapa kan?). Oya, disini untuk mengisi waktu antara adzan dan iqomat, jamaahnya pada tilawah sendiri-sendiri. Suaranya ga dikencengin, mbacanya dalam hati saja. Terus yang qomat juga langsung imamnya sendiri (hayo yang di CCB, pada rebutan qomat biar ga jadi imam). Cacat ga ada halangan untuk beribadah. Di dalam masjid disediain kursi plastik (kayak yang di warung kaki lima) untuk orang yang mau sholat dengan duduk.

Mengisi waktu antara sholat Maghrib dan Isya, aku jalan2 di seputaran masjid dan hotel. Kebetulan bertemu sama orang Malaysia (namanya Azid) yang nginep di hotel itu juga. Kita ngobrol2 banyak soal kerjaan, Qatar, dll. Karena dia baru seminggu disini, jadi dia juga belum tau banyak. Yang menarik, waktu kita mau nyebrang jalan. Uhh susahnya, karena jalannya gedhe (6 jalur) dan lebar, jadi mobil-mobil disini larinya kenceng banget. Harus nunggu sekitar 10 menit buat nyebrang, itupun harus pake lari-lari.

Malamnya, aku dijemput oleh 2 orang ex-TPPI yang udah duluan di Qatar. Kita jalan2 ke Carrefour sekalian nyari SIM card sini. Karena aktivasi international roamingku gagal, aku ga bisa komunikasi kemana-mana. Nah, saran buat yang mau nyusul, bawa aja kartu Mentari/IM3 yang lebih gampang aktivasinya, kalo Telkomsel mah susah disini. Sampai di Carrefour udah malam (sekitar jam 9) tapi masih rame banget. Katanya sih baru tutup jam 12 malam (busyet dahh). Mallnya sekelas ama Senayan City gitu. Tapi bedanya disini ga ada cewek yang pake youcansee dan rok mini gitu, yang banyak malah "Aisyah"nya Ayat-Ayat Cinta, he..he.. Alhamdulillah, mata ini jadi lebih terjaga.

SIM Card disini namanya Hala Card. Operator HP dimonopoli oleh Q-Tel (BUMN telekomunikasi). Terus kalo mau dapet SIM Card, harus nunjukin passport dulu, register on-line, and ga bisa milih-milih nomer kayak di Indonesia. No-nya cuma 7 digit, jadi ga repot ngapalinnya. Harganya 200 QR (500 ribu) dapet pulsa 100 QR. Bandingkan dengan harga SIM Card di Indonesia yang diobral kayak kacang goreng. Oya, yang lucu petugas Q-Tel (laki-laki lengkap dengan gamisnya) begitu tau aku orang Indonesia langsung bilang "Aku Cinta Kamu" (mungkin bisanya bahasa Indonesia cuma itu, he..he..)

Sempet survey harga barang-barang elektronik di Carrefour. Murahan di Indonesia sih, tapi cuma selisih 100-200 ribu. Cuma karena gaji orang2 Indonesia disini lipat 3x daripada di tanah air, jadi berasa murah aja. Saran dari temenku, kalo belanja disini harganya jangan diconvert ke rupiah, terlalu banyak mikir malah ga bakal kebeli. Udah yang dipengenin, beli aja.

Malam yang indah. Sepanjang jalan (Hotel-Carrefour) lihat gedung-gedung mewah berarsitektur modern dengan cahaya yang berkilauan. Lahan-lahan taman kota yang hijau jadi tongkrongan orang-orang yang mau menghabiskan malam. Mobil2 mewah ber-cc tinggi berseliweran di jalan-jalan kota. Qatar,.. oh Qatar.

-- Ummi, Silmi, I miss U all. Ayah kesepian nih, hik..hik.. --

Akhirnya nyampe juga di Qatar (part 2)

Aku terbang dengan Qatar Airways. Kalo lihat di websitenya sih, pesawatnya lux banget. Tapi setelah berada di dalamnya, biasa2 aja tuh. Ya standar pesawat luar negeri. Tempat duduknya sederet ada 8 (2 samping kiri, 4 tengah, 2 samping kanan). Dan kebetulan aku dapet di pojok kanan, lumayan bisa lihat pemandangan.

Kalo di website, sebuah LCD TV ada di belakang jok depan kita, tapi kenyataannya TVnya hanya ada beberapa di atap kabin. Untuk entertainment, ada beberapa channel musik yang bisa dipilih. Tempatnya ada di handle tangan kita. Tercatat ada 18 channel, mulai dari musik arab, india, jepang, hip hop, barat klasik. Tapi dari semuanya itu yang lebih familiar di kuping, adalah murottal di channel 6.

Makanannya ga aneh-aneh. Buat dinner (makan tengah malam tepatnya) masih pakai katering Indonesia. Nasi lauk ayam. Begitu pula breakfastnya (nah yang ini sebetulnya makan shubuh) masih pake nasi uduk dengan telur suwir. Jadi dilidah masih bisa ketrima. Hanya saja (mungkin karena ga terbiasa) aku susah ngeluarinnya (blow down). Udah bolak-balik ke lavatory, tetep aja ga mau keluar. Alhasil, perutku makin ga enak aja rasanya.

Semuanya on-time. Berangkat on-time jam 23.35. Transit di Singapore 2 jam. Dan nyampe di Doha jam 6.15 waktu sini (selisih 4 jam). Jadi perjalanan sekiar 11 jam. Kebayang kan pegelnya. Mau tidur ga bisa, udah gitu ACnya dingin banget lagi. Ah, dasar wong ndeso.

Nah, sampai di bandara Doha, kami berempat ketemu sama orang Indonesia lainnya yang sepesawat. Beberapa diantaranya ke Q-Chem dan ke Qatargas. Di terminal kedatangan kita dijemput oleh petugas bandara (dengan membawa papan nama) dan diarahkan ke ruangan tertentu (bertuliskan Al Maha Services) bukan ikut antrian imigrasi. Kalo di Indonesia, kita pasti sudah berpikiran macam-macam (kayak TKW-TKW yang disuruh keluar melalui terminal 3). Tapi ternyata kita diminta menunggu di waiting room dan untuk urusan imigrasi diurus oleh petugas bandara tanpa harus repot-repot ngantri. Wah, emang enak ya jadi expatriat.

Urusan imigrasi selesai, claim bagasi terus keluar untuk nyari penjemput. Ternyata sudah di-arrange dari pihak perwakilan hotel yang ada di bandara. Dan aku langsung meluncur ke hotel.

Ahhh, hari ini terasa panjaaanngg sekali. Waktunya "kungkum" buat bersih-bersih (ngeto'i ndesone) dan take a sleep.

Akhirnya nyampe juga di Qatar (part 1)

Sohibs,

Akhirnya aku nyampe juga di Qatar. "The dream land for operator", aku menyebutnya. Maklum wong ndeso yang satu ini baru pertama kalinya menginjakkan kakinya di luar negeri.

Oya ceritanya darimana ya? Dari bandara Cengkareng aja deh. Kebetulan aku bertemu dengan 3 orang Indonesia lainnya. 2 org ke Qatalum, 1 org ke Q-Chem. Di International Departure Terminal 2, aku belum bisa masuk, karena passportku dibawa ama pihak agent. Pelajaran yang bisa dipetik, jangan kasih original passport anda ke pihak agent kalo buat ngurus2 document. Beri aja copy atau scannya. Selain takut hilang atau "ketlisut", kayaknya agen sengaja menahan passport biar kita ga pergi2, terutama kalo cabut kerja di perusahaan lain pake agen lain.

Aku udah sempet ketar-ketir karena orang dari agen ga datang2 juga. Padahal pesawatku berangkat jam 23.30, dan mesti check in 2 jam sebelumnya. Untungnya aku dapet contactnya sehingga bisa aku telponin terus buat konfirmasi kedatangannya. Dan akhirnya bapaknya dateng jam 21:30.

Kita didampingi saat check-in dan bayar fiskal. Bayangkan kalo tanpa assistant dari agen, urusannya bakal ribet banget. Harus ngisi ini ngisi itu. Belum lagi lobby-lobby politik yang dilakukan dari pihak agen, karena kadang ada oknum bandara yang memanfaatkan situasinya. Bukan rahasia lagi.

Nah, gerbang terakhir di bandara adalah imigrasi. Kalo passport udah distempel aman sudah. Yang dikhawatirkan karena visaku adalah visa kerja. Yang lain juga sama sih, tapi untungnya visanya temen2ku berbahasa arab. Kemungkinan lolos imigrasi lebih besar. Sedang punyaku bahasa inggris. Saran dari agen, kita harus berpencar. Jangan kelihatan satu rombongan. Soalnya kalo kena satu bakal kena semua. Nah, yang jadi tumbal adalah aku. Jadi aku masuk imigrasi terakhir. Dan satu lagi pesan dari agen, siapin "duit receh" kalo-kalo harus minta "dibantuin" sama pihak imigrasi.

Dengan langkah yang mantap walau jantung deg-degan, kita laksanakan strategi. 3 org temenku udah lolos. Aku pandangi lagi passport dan visa (yang aku sengaja lipet-lipet), "Ya Allah, aku niatkan ini sebagai hijroh di jalanmu". Dan akhirnya, THOK, kestempel juga passportku tanpa ada masalah.

Oya, satu orang temenku kena masalah di waiting room, karena membawa 3 botol gedhe (@ 500 ml) cairan pembersih contact lens. Dari pihak bandara hanya memperbolehkan membawa 1 botol saja di kabin, sedangkan 2 lainnya harus masuk bagasi. Repot juga ngurusinnya.

Gimana ceritanya aku di dalam pesawat, ikuti kisah selanjutnya

To be continued,...