Tuesday, January 20, 2009

Bahkan Tak Pernah Bermimpi

Sebelum berangkat ke Qatar, saya belum pernah bermimpi untuk membeli sebuah mobil. Saya tidak tahu menahu masalah mobil, mana yang bagus dan mana yang jelek. Bagi saya, mobil adalah kebutuhan paling sekunder, selama saya masih bisa kemana-mana naik motor atau angkutan umum.

Tapi setelah sampai di Qatar, mobil adalah kebutuhan primer. Kita tidak akan bisa kemana-mana tanpa mobil. Bagi yang single, mungkin bisa saja naik bis, seperti yang saya lakukan selama ini. Hanya 3 riyal untuk semua jurusan. Tapi setelah keluarga disini, naik bis adalah pilihan yang terburuk. Bahkan kalo harus naik taxi setiap mau belanja, itu akan sangat membuat kantong tekor.

Setelah saya lulus police test (dapet SIM), saya putuskan untuk mendatangi beberapa showroom mobil untuk survey. Pilihan saya adalah SUV yang ada 4x4-nya. Beberapa teman tidak merekomendasikan sedan karena masalah safety. Selain itu sedan tidak bisa dipakai untuk jalan-jalan ke gurun atau sea-line. Disamping SUV, saya juga menjatuhkan pilihan ke mobil jepang karena terkenal kehandalan mesin dan harga jual kembalinya yang cukup kompetitif.

Karena saya juga mempertimbangkan harga, kalau bisa jangan lebih dari 100ribu riyal, jadi nominasinya adalah Honda CRV, Nissan X-Trail, Nissan Qashqai, Mitsubishi Pajero, Suzuki Vitara.

Akhirnya saya jatuh hati pada salah satu dari nominasi tersebut. Dan untuk mendapatkannya ternyata cukup mudah, bahkan tanpa keluar duit sedikitpun (tanpa DP). Cukup membawa objection letter dari company, salary certificate, copy ID, dan bank statement, serta beberapa tandatangan di formulir, mobil sudah bisa dibooking. Dan tinggal tunggu beberapa hari lagi, istimara (STNK) jadi dan mobil bisa dibawa pulang.

Sungguh, saya tidak pernah bermimpi sebelumnya bisa punya mobil seperti ini. Ini karena terpaksa,…benar-benar terpaksa.

Mempertahankan Gaya Hidup

Apabila kita berubah dari kondisi (kehidupan) satu ke kondisi yang lain, atau bahasa sederhananya, perubahan status sosial, tentu akan mempengaruhi gaya hidup. Gaya hidup itu tidak jauh-jauh dari berapa jumlah uang yang kita belanjakan dalam jangka waktu tertentu.

Saya pernah punya pengalaman seperti ini. Beberapa bulan setelah saya lulus kuliah, saya diterima kerja di perusahaan petrochemical yang besar. Waktu itu, saya yang mencetak rekor gaji tertinggi di antara teman-teman saya (sebelum beberapa teman saya mendapat pekerjaan yang lebih mantap daripada saya). Biasanya saya harus “nyenen-kemis” untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk kuliah. Setelah saya mendapat pekerjaan itu, saya digampar gaji 3x lipat dari pengeluaran biasanya per bulan. Dan sesaat itu juga sontak kehidupan saya berubah.

Hal pertama yang saya lakukan adalah ganti HP. Saya merasa HP saya (sebelumnya) sudah ketinggalan jaman. Sudah saatnya diganti dengan HP model terbaru dengan layar berwarna, MP3 ringtone, kamera megapixel dan internal memory lebih besar. Kemudian saya membuat langkah-langkah gebrakan yang sangat signifikan, terutama saat saya memutuskan untuk mengambil KPR dengan cicilan 1/3 dari gaji per bulan.

Semua itu saya sesalkan karena saya gagal dalam mengelola manajemen gaya hidup. Tidak seharusnya saya berubah sedrastis itu. Sepatutnya saya tetap mempertahankan gaya hidup, sambil memikirkan kebutuhan-kebutuhan yang lebih penting untuk masa depan.

Berangkat dari pengalaman itu, di Qatar saya merasa harus merencanakan diri secara lebih matang. Godaan-godaan duniawi dan konsumerisme sangat banyak menerjang saya. Namun sejauh ini, saat saya mulai tergoda, saya jadi teringat anak istri saya tercinta yang masih di kampung. Saya lebih senang memperhatikan kurs rupiah, ketika akan mentransfer dana dengan sejumlah angka-angka yang banyak nolnya ke rekening istri saya di akhir bulan.

Mempertahankan gaya hidup, bagi saya itu akan menjadi kunci sukses kondisi finansial keluarga saya.

SIM seharga 9 Juta

Bukan rahasia lagi kalo bikin SIM di Indonesia sangatlah mudah. Tinggal bayar lebih, foto, dan SIM langsung bisa didapat. Walaupun dari birokrasi kepolisian sudah mengusahakan untuk memperketat aturan SIM melalui jalur resmi, namun masih ada saja celah untuk masuk dari pintu belakang.

Sebetulnya ada semacam simbiosis mutualisme antara pelamar SIM dan petugas. Seolah-olah sudah saling mengetahui kebutuhan satu sama lain. Pelamar SIM butuh waktu, dan oknum petugas butuh isi kantong. Karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan, kebiasaan itu membudaya dan eksis sampai sekarang. Butuh daya gebrak yang tinggi untuk memecah kebiasaan itu.

Saya sendiri pernah punya pengalaman mengurus SIM lewat jalur resmi (artikel di dibaca di postingan sebelumnya) dan ternyata memang sangat ribet. Saya sendiri bukannya tidak punya uang untuk membayar lebih (padahal kesempatan itu ada), tetapi saya memang sengaja ingin mengetahui sejauh mana proses pembenaran itu berlangsung. Saat saya ceritakan pada teman-teman bahwa saya gagal (1x) ujian SIM, mereka semua tertawa, “Owalah dik, pantes aja kamu gagal. Wong kamu cuma bayar 75 ribu.”

Dan apa yang terjadi sekarang di Qatar, saya harus membayar 9 juta rupiah untuk memperoleh SIM. Itu hanyalah uang pendaftaran driving schoolnya. Belum lagi saya harus menghabiskan waktu bolak-balik untuk kursus nyetir yang tempatnya sangat jauh dari tempat tinggal saya. Masih belum terbayangkan bagaimana rasanya memegang SIM Qatar, karena masih harus melewati beberapa driving test, yang katanya teman-teman tidak bisa diprediksi hasilnya.

Kalo sudah seperti ini, saya merasa bersyukur sekali tinggal di Indonesia. Andai saja bisa dapat pekerjaan di Indonesia dengan gaji Qatar, hmmm.

Tentang Nama

Entah kebetulan atau bukan, orang Indonesia yang kerja di perusahaan tempat saya bekerja sekarang, kebanyakan mempunyai nama berakhiran "di". Saya sendiri punya dobel, yang lain: Budi, Kusdi, Dodi, Andi, Edi, Irdi, Tedi. Sehingga orang dari negara lain berpikiran bahwa nama Indonesia itu identik berakhiran “…di”. Padahal itu hanya nama panggilan, masing-masing kita punya nama tengah dan nama belakang yang kadang aneh-aneh dan tidak nyambung.

Mungkin saat generasi bapak saya, akan terasa lebih spesial lagi. Dimana hampir semua orang Jawa mempunyai nama berawalan “Soe…” dan berakhiran huruf “O”. Dan di generasi sekarang saya tidak bisa menemukannya lagi.

Nama-nama anak jaman sekarang lebih terasa aneh lagi. Para orang tua berlomba-lomba memberikan nama yang terindah, keren didengar dan panjang. Kalo pada jaman saya, nama yang keren adalah nama yang berbau-bau barat, jaman sekarang nama yang keren adalah nama yang berbau arab.

Saya sebutkan disini berbau arab bukan berarti nama islami lho, karena nama islami (e.g Ahmad, Ibrahim, Abdullah, Khadijah, Fatimah, Zaenab) menurut sebagian orang lebih terdengar ndeso. Dalam pengamatan saya, nama-nama anak sekarang tidak jauh-jauh dari suku kata “sya”, “fa” dan “ay” (silahkan cari sendiri contohnya).

Kalo terus ada yang nanya tentang nama anak saya didapat darimana. Saya sendiri tidak repot-repot memikirkan sebelumnya. Dari beberapa literatur yang saya baca, nama yang terbaik dan yang disukai Allah adalah “Abdullah” dan “Abdurrahman”. Jadi salah satu dari dua nama itu yang saya siapkan. Lha koq ndilalahe, anak saya perempuan. Karena saya tidak siap memberikan nama, saya minta nama saja kepada ustadz yang saya percayai (lulusan Sastra Arab LIPIA) dan akhirnya jadilah nama anak saya sekarang.

Well, saya tidak menjustifikasi siapa-siapa lho. Tapi yang jelas nama anak itu adalah doa dari orang tua. Jadi berilah nama yang terbaik pada anak-anak kita.

Geleng

Mereka adalah bagian dari bangsa yang besar. Ada teman saya bilang bahwa mereka sudah menapaki semua bagian permukaan bumi, sehingga beberapa waktu yang lalu mereka mendaratkan satelitnya ke bulan (mungkin sebagai langkah awal untuk mendaratkan orangnya di bulan). Saya tidak tega menyebut mereka “bawang”. Karena tidak semua dari mereka bau bawang, kadang bau yang lain, he..he.. Kalo disebut “geleng” atau “gedheg”, mungkin lebih tepat. Apabila kita memberikan suatu “yes/no question”, maka jawaban merekapun akan sama.

Satu hal yang menarik, ketika saya sedang berkenalan sama orang “geleng”, ada kesamaan pada pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada saya. Secara sederhana, urutan pertanyaan-pertanyaan itu adalah:

1. “What’s your name?”. Saya jawab, “Didik”

2. “How old are you?”. Saya jawab, “23”

3. “Are you married?”. Saya jawab, “yes”

4. “How many kids do you have?”. Saya jawab, “one”

5. “Boy or girl?”. Saya jawab, “girl”

6. “How old is she?”. Saya jawab, “one year”

Nah, urutan pertanyaan itu pasti akan berulang di setiap saya berkenalan sama orang lain yang masih sebangsanya. Jadi sekarang, ketika pertanyaan mereka sudah sampai apakah saya sudah menikah, saya sambung saja jawabannya, “yes, I have one kid, girl, one year old”, praktis kan.

Walaupun saya sering mendengar cerita-cerita yang kurang menyenangkan dari orang-orang kita yang pernah berinteraksi dengan mereka, sejauh ini saya menikmati kerja bareng mereka. Saya jadi bisa mengenal berbagai karakter yang belum saya temui sebelumnya. Bukankah Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kita saling mengenal kan?