Abusilmi's Corner
Just to share my stories and experiences,...
Monday, August 20, 2012
Pindah Rumah
Bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak...
Mengumumkan bahwa saya sudah pindahan rumah (blog) ke sini. Pindahan ini semata-mata hanya untuk mencari suasana baru, biar lebih fresh
Mohon maaf pabila ada salah-salah kata. Happy blogwalking...!!
Friday, December 23, 2011
Mencoba Menulis Lagi
Tak terasa update saya terakhir di blog ini tertanggal 20 Januari 2009. Berarti hampir selama 3 tahun, blog ini nyaris tak tersentuh. Memang setelah booming Facebook dan Twitter, para netters cenderung memilih jejaring sosial untuk memfasilitasi perasaan ataupun opini-opini mereka. Hanya para blogger sejati yang masih bertahan.
Saya berpikir untuk membuat blog baru, untuk menyalurkan hobi menulis yang sempat hilang dan juga sebagai cara menunjukkan eksistensi di dunia maya. Maksudnya supaya ada kesan "be a new me". Satu blog baru dari saya ini akhirnya telah menetas, tapi saya khususkan untuk resensi buku saja. Sedangkan opini, uneg-uneg, harapan, ungkapan perasaan masih belum tersalurkan juga. Sehingga saya putuskan untuk meneruskan blog ini saja, supaya tidak berkesan "mubadzir".
Ada istilah "gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan tulisan". Semoga tulisan-tulisan saya berikutnya bisa menjadi manfaat bagi para pembaca blog, atau setidaknya untuk saya sendiri.
Gambar di atas diambil dari sini
Tuesday, January 20, 2009
Bahkan Tak Pernah Bermimpi
Sebelum berangkat ke
Tapi setelah sampai di
Setelah saya lulus police test (dapet SIM), saya putuskan untuk mendatangi beberapa showroom mobil untuk survey. Pilihan saya adalah SUV yang ada 4x4-nya. Beberapa teman tidak merekomendasikan sedan karena masalah safety. Selain itu sedan tidak bisa dipakai untuk jalan-jalan ke gurun atau sea-line. Disamping SUV, saya juga menjatuhkan pilihan ke mobil jepang karena terkenal kehandalan mesin dan harga jual kembalinya yang cukup kompetitif.
Karena saya juga mempertimbangkan harga, kalau bisa jangan lebih dari 100ribu riyal, jadi nominasinya adalah Honda CRV, Nissan X-Trail, Nissan Qashqai, Mitsubishi Pajero, Suzuki Vitara.
Akhirnya saya jatuh hati pada salah satu dari nominasi tersebut. Dan untuk mendapatkannya ternyata cukup mudah, bahkan tanpa keluar duit sedikitpun (tanpa DP). Cukup membawa objection letter dari company, salary certificate, copy ID, dan bank statement, serta beberapa tandatangan di formulir, mobil sudah bisa dibooking. Dan tinggal tunggu beberapa hari lagi, istimara (STNK) jadi dan mobil bisa dibawa pulang.
Sungguh, saya tidak pernah bermimpi sebelumnya bisa punya mobil seperti ini. Ini karena terpaksa,…benar-benar terpaksa.
Mempertahankan Gaya Hidup
Apabila kita berubah dari kondisi (kehidupan) satu ke kondisi yang lain, atau bahasa sederhananya, perubahan status sosial, tentu akan mempengaruhi
Saya pernah punya pengalaman seperti ini. Beberapa bulan setelah saya lulus kuliah, saya diterima kerja di perusahaan petrochemical yang besar. Waktu itu, saya yang mencetak rekor gaji tertinggi di antara teman-teman saya (sebelum beberapa teman saya mendapat pekerjaan yang lebih mantap daripada saya). Biasanya saya harus “nyenen-kemis” untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk kuliah. Setelah saya mendapat pekerjaan itu, saya digampar gaji 3x lipat dari pengeluaran biasanya per bulan. Dan sesaat itu juga sontak kehidupan saya berubah.
Hal pertama yang saya lakukan adalah ganti HP. Saya merasa HP saya (sebelumnya) sudah ketinggalan jaman. Sudah saatnya diganti dengan HP model terbaru dengan layar berwarna, MP3 ringtone, kamera megapixel dan internal memory lebih besar. Kemudian saya membuat langkah-langkah gebrakan yang sangat signifikan, terutama saat saya memutuskan untuk mengambil KPR dengan cicilan 1/3 dari gaji per bulan.
Semua itu saya sesalkan karena saya gagal dalam mengelola manajemen
Berangkat dari pengalaman itu, di Qatar saya merasa harus merencanakan diri secara lebih matang. Godaan-godaan duniawi dan konsumerisme sangat banyak menerjang saya. Namun sejauh ini, saat saya mulai tergoda, saya jadi teringat anak istri saya tercinta yang masih di kampung. Saya lebih senang memperhatikan kurs rupiah, ketika akan mentransfer dana dengan sejumlah angka-angka yang banyak nolnya ke rekening istri saya di akhir bulan.
SIM seharga 9 Juta
Bukan rahasia lagi kalo bikin SIM di Indonesia sangatlah mudah. Tinggal bayar lebih, foto, dan SIM langsung bisa didapat. Walaupun dari birokrasi kepolisian sudah mengusahakan untuk memperketat aturan SIM melalui jalur resmi, namun masih ada saja celah untuk masuk dari pintu belakang.
Sebetulnya ada semacam simbiosis mutualisme antara pelamar SIM dan petugas. Seolah-olah sudah saling mengetahui kebutuhan satu sama lain. Pelamar SIM butuh waktu, dan oknum petugas butuh isi kantong. Karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan, kebiasaan itu membudaya dan eksis sampai sekarang. Butuh daya gebrak yang tinggi untuk memecah kebiasaan itu.
Saya sendiri pernah punya pengalaman mengurus SIM lewat jalur resmi (artikel di dibaca di postingan sebelumnya) dan ternyata memang sangat ribet. Saya sendiri bukannya tidak punya uang untuk membayar lebih (padahal kesempatan itu ada), tetapi saya memang sengaja ingin mengetahui sejauh mana proses pembenaran itu berlangsung. Saat saya ceritakan pada teman-teman bahwa saya gagal (1x) ujian SIM, mereka semua tertawa, “Owalah dik, pantes aja kamu gagal. Wong kamu cuma bayar 75 ribu.”
Dan apa yang terjadi sekarang di
Kalo sudah seperti ini, saya merasa bersyukur sekali tinggal di
Tentang Nama
Entah kebetulan atau bukan, orang
Mungkin saat generasi bapak saya, akan terasa lebih spesial lagi. Dimana hampir semua orang Jawa mempunyai nama berawalan “Soe…” dan berakhiran huruf “O”. Dan di generasi sekarang saya tidak bisa menemukannya lagi.
Nama-nama anak jaman sekarang lebih terasa aneh lagi.
Saya sebutkan disini berbau arab bukan berarti nama islami lho, karena nama islami (e.g Ahmad, Ibrahim, Abdullah, Khadijah, Fatimah, Zaenab) menurut sebagian orang lebih terdengar ndeso. Dalam pengamatan saya, nama-nama anak sekarang tidak jauh-jauh dari suku kata “sya”, “fa” dan “ay” (silahkan cari sendiri contohnya).
Kalo terus ada yang nanya tentang nama anak saya didapat darimana. Saya sendiri tidak repot-repot memikirkan sebelumnya. Dari beberapa literatur yang saya baca, nama yang terbaik dan yang disukai Allah adalah “Abdullah” dan “Abdurrahman”. Jadi salah satu dari dua nama itu yang saya siapkan. Lha koq ndilalahe, anak saya perempuan. Karena saya tidak siap memberikan nama, saya minta nama saja kepada ustadz yang saya percayai (lulusan Sastra Arab LIPIA) dan akhirnya jadilah nama anak saya sekarang.
Well, saya tidak menjustifikasi siapa-siapa lho. Tapi yang jelas nama anak itu adalah doa dari orang tua. Jadi berilah nama yang terbaik pada anak-anak kita.
Geleng
Mereka adalah bagian dari bangsa yang besar.
Satu hal yang menarik, ketika saya sedang berkenalan sama orang “geleng”, ada kesamaan pada pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada saya. Secara sederhana, urutan pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
1. “What’s your name?”. Saya jawab, “Didik”
2. “How old are you?”. Saya jawab, “23”
3. “Are you married?”. Saya jawab, “yes”
4. “How many kids do you have?”. Saya jawab, “one”
5. “Boy or girl?”. Saya jawab, “girl”
6. “How old is she?”. Saya jawab, “one year”
Nah, urutan pertanyaan itu pasti akan berulang di setiap saya berkenalan sama orang lain yang masih sebangsanya. Jadi sekarang, ketika pertanyaan mereka sudah sampai apakah saya sudah menikah, saya sambung saja jawabannya, “yes, I have one kid, girl, one year old”, praktis
Walaupun saya sering mendengar cerita-cerita yang kurang menyenangkan dari orang-orang kita yang pernah berinteraksi dengan mereka, sejauh ini saya menikmati kerja bareng mereka. Saya jadi bisa mengenal berbagai karakter yang belum saya temui sebelumnya. Bukankah Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kita saling mengenal