Di Qatar, dimana menjadi tempat cari rejeki banyak manusia dari seluruh penjuru bumi, aku temukan menu-menu makanan yang aneh-aneh. Minggu pertama di Qatar, lidah masih belum bisa adaptasi dengan menu makanan, terutama waktu di hotel. Dan di apartemenpun, aku dan roommate-ku selalu masak sendiri, berbekal bumbu instant Finna dan kenekadan.
Di kantin pabrik, aku dihadapkan pada berbagai macam pilihan masakan. Untuk appetizer, biasanya soup kaldu ayam/sapi, soup cream, soup tomat. Dari beberapa macam soup, cuma soup kaldu saja yang bisa diterima oleh lidah. Main coursenya: Plain rice, biriyani rice, yellow rice, kabuli rice (lengkap dengan bau prengusnya), pasta/spaghetti, macaroni, bread, kobus (roti India), dan boiled potato. Dari berbagai macam pilihan karbohidrat itu, tentu nasi tetap pilihan utama. Dan lauknya: ayam baker, ayam “opor” (kayak opor tapi bukan opor), lamb, beef, sate udang, dsb.
Dan dessert (ini bagian yang aku sukai): bubur roti, bubur nasi manis, tart cake, pudding dan ice cream, hmm yummy…
Makanya kalo pagi hari nyari warung nasi di Qatar agak susah. Karena orang-orang biasanya breakfast hanya dengan roti. Warung disini biasanya buka jam 11, persiapan untuk lunch. Kalopun perut udah terlanjur keroncongan dan kadung keluar rumah di pagi hari, satu-satunya alternatif adalah 24hr fast food, seperti McD dan KFC (yang ada menu nasinya). Emang dasar orang Indonesia, kalo belum makan nasi berarti belum makan.
Dan ketika seorang kawan dari Kenya bertanya, “Can’t you survive without rice?”. Pertanyaan itu aku jawab dengan sederhana, “No eat without rice”.